Minggu, 22 Mei 2011

Terbentur Realita



Membaca dan menonton berita akhir-akhir ini, bom dan ledakan bom di Indonesia menjadi hal yang biasa layaknya gorengan yang dijual di pinggir jalan atau kacang rebus yang dijajakan di tiap tikungan. Tapi bukan bom atau ledakannya yang ingin kubahas kali ini. Baru-baru ini, pihak berwajib telah menangkap orang-orang yang diduga terlibat dalam aksi bom buku yang laris manis bak kacang goreng, dan itulah yang menjadi highlight dalam tulisanku ini. Para pelakunya. Lebih fokus lagi adalah dua anggota tim pelaku bom buku tersebut. Dua di antaranya, seorang ditengarai pernah berprofesi sebagai sutradara (mungkin dari sebuah rumah produksi), dan seorang lagi masih menjadi karyawan dengan jabatan kameramen di sebuah stasiun televisi swasta nasional.

Sejak munculnya penemuan para polisi tersebut, terlintas pertanyaan pada diriku sendiri, mengapa bukan aku?

Hei, jangan salah sangka, aku tidak bertanya, mengapa bukan aku yang terpilih untuk menjadi salah seorang anggota tim perakit bom yang meresahkan masyarakat. Amit-amit dah. Maksudku adalah, mengapa bukan aku yang seharusnya menjadi karyawan? Mengapa bukan aku yang dipercaya untuk menjadi seorang anggota tim pada suatu bidang di sebuah perusahaan ternama? Haha, itu saja kok. Kenapa mereka—pihak perusahaan ternama itu—justru mempercayai orang-orang yang ternyata kemudian terlibat dalam hal yang menjerumuskan mereka dalam perkara hukum dan membuat masyarakat luas merasa was-was?

Belum lagi kasus “Penipu Cantik”. Seorang gadis cantik yang doyan berganti pekerjaan dan ternyata seorang penipu, or so they said. Sampai sekarang belum diketahui mana yang benar dan mana yang salah karena ternyata dari pihak si pelaku dan keluarganya, si Penipu Cantik tersebut sebenarnya hanya memiliki urusan utang-piutang dengan kawan-kawannya—hal yang biasa terjadi saat kehidupan masih mengalir—namun salah seorang di antaranya ada yang tidak menyukainya (atau mungkin sudah merasa sebal kemudian muak karena utangnya tidak segera dibayar) dan menyebarkan fitnah mengenai “penipuan oleh si Cantik” tersebut.

Satu lagi, kasus si “Cantik Karyawan Bank Penggelap Uang”.

Tidak habis-habis pembicaraan mengenai mereka.

Back to the context. Mengapa bukan aku yang lurus dan jujur ini yang dipercaya oleh pihak perusahaan ternama untuk mengemban suatu jabatan dalam posisi kru mereka?

Oke, mungkin kesalahanku satu-satunya terletak tatkala aku sedang menghadapi interviu pekerjaan. Aku ini orang yang grogi-an. Hanya saja, aku mungkin memang seorang penggugup, tapi aku adalah orang yang jujur. Atau psikolog ecek-ecek mungkin tidak bisa membedakan seorang yang asli penggugup dengan seorang penipu/pembohong yang berkeringat dingin ketika diberi pertanyaan berkenaan dengan pekerjaan?

Sementara tentu saja, seorang penipu yang sudah pakar pasti tidak akan berkeringat dingin ketika mendapatkan pertanyaan. Karena mereka sudah terlalu ahli untuk itu. Mereka seorang “pemain kawakan”. Pasti sudah terbiasa. Dan loloslah mereka dalam sesi wawancara kerja hingga mereka bisa bekerja untuk beberapa lama di perusahaan tersebut.

(Aku sedang tidak ingin membahas para petinggi yang juga melakukan aksi korupsi/kriminalitas kelas berat :D yang sedang kubicarakan hanya para kru dari yang berkedudukan terbawah sampai yang menengah saja)

Dalam frustasiku untuk mencari pekerjaan, sering pertanyaan itu terlontar dalam hati. Wahai para HRD Manager dan pimpinan serta pemegang saham, mengapa kalian pilih mereka yang pemalas/penipu daripada diriku? Aku ini kan gadis yang “benar”, yang tidak punya pikiran macam-macam?

Gimme a break. Yang benar saja. Hehe.

Selain para pegawai/karyawan yang ternyata bukan orang-orang yang “benar” dan “lurus”, ada juga pengamatanku mengenai kinerja para karyawan/pegawai yang sepertinya asal-asalan. Dalam hal ini aku mencermati para pegawai pada bidang bahasa, khususnya para penyunting bahasa dan pengalih bahasa (subtitling section crew).

Masih saja kudapati para penerjemah itu, atau editornya, membuat kesalahan. Hal yang paling sering kutemui dan kubaca adalah kata penghubung justru ditempelkan/dilekatkan pada kata keterangannya.

Kata yang seharusnya di tempat malah ditulis ditempat, yang semestinya di mana menjadi diketik dimana, kata yang bakunya ke mana malah menjadi kemana, di sini justru dijadikan disini, ke sini menjadi kesini, di sana menjadi disana, ke sana menjadi kesana, di situ menjadi disitu, ke situ menjadi kesitu, di luar menjadi diluar, ke luar menjadi keluar, di dalam menjadi didalam, ke dalam menjadi kedalam, yang lucu lagi adalah kemari justru menjadi ke mari, di antara dicetak diantara, di rumah diketik dirumah.



Malah pernah kubaca di negara menjadi diNegara juga di Irak menjadi diIrak. Atau kata ditempatkan menjadi di tempatkan. Atau lebih aneh lagi di tanggal sekian menjadi ditanggal sekian. Bila memang kata yang dimaksud adalah kata “ditanggalkan”, di mana partikel “kan”-nya?

Betapa lucunya manusia Indonesia. Jujur, aku terkadang juga tidak teliti, dan masih ada satu atau dua kata yang luput dari suntinganku. Tapi, bila kesalahan-kesalahan kata-kata itu terbaca di sepanjang film atau di sepanjang narasi, dapat dipastikan bahwa mereka memang tidak tahu, tidak pernah belajar soal itu, atau malas menyunting ulang?

Pada kawan-kawanku, aku sering mengemukakan cara paling mudah untuk membedakan mana yang harus ditempel/dilekatkan atau mana yang mana harus dipisah, yaitu dengan cara menyoroti kata keterangan dan kata kerja: kata keterangan tempat dipisahkan dan selain itu—yaitu kata kerja—disambung. Dengan kata lain, “di” selain kata kerja itu dipisah (“di” pada kata kerja itu disambung/ditempel). Maksudnya, “di” untuk kata tempat, dipisah.

Sekali lagi, itu hanya untuk memudahkan saja. Kita semua pastinya sudah tahu bahwa kata “di” dan “ke” yang berada di depan kata keterangan tempat tersebut adalah kata penghubung (kata sambung), sedangkan partikel “di” dan “ke” yang menempel pada suatu kata kerja adalah awalan (prefiks).

Kata penghubung/kata sambung tentu saja berbeda dengan awalan/prefiks.

Kata-kata yang sedikit menjebak adalah kata ke luar dan keluar, juga kata dibalik dan di balik. Ada konteks-konteks yang berbeda, tentunya.

Lebih mudah bicara dengan contoh bukan? Maka, inilah contoh yang kumaksud:

“Ia berjalan ke luar rumah”.

Berbeda dengan:

“Aku keluar dari perusahaan itu bulan Mei mendatang”.

Memiliki konteks yang sama seperti:

“Aku dikeluarkan dari keanggotaan tim karena berkhianat.”

Di balik tembok itu ada toko kue yang cukup terkenal.”

Contoh penggunaan kata di balik yang salah di media televisi:

Tidak berapa lama kemudian, media tersebut memberikan koreksi atas penulisan kata dibalik itu.

Kata di balik di atas berbeda dengan:

“Halaman buku itu dibalik oleh murid-murid atas perintah gurunya.”

Memiliki konteks yang sama dengan:

“Halaman buku itu dilipat oleh murid-murid atas perintah gurunya.”

Juga seperti:

“Halaman buku itu disobek oleh murid-murid atas perintah gurunya.”

Dengan kalimat aktifnya adalah:

Murid-murid membalik halaman buku itu atas perintah gurunya.”

Sering pula kudapati kata-kata yang tidak sesuai dengan EYD dengan kata lain, kata tersebut bukanlah kata baku. Lucunya lagi, ada kata yang bahkan bukan bahasa mana pun di wilayah Indonesia. Pernah kudapati di sebuah film berbahasa Inggris yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi nasional, pada suatu adegan terdapat teks alih bahasa dari kata prince yang diterjemahkan menjadi panggeran. Apa pula itu panggeran? Tentu aku paham bahwa yang dimaksud adalah pangeran, tapi tidak ada kata panggeran di kamus mana pun. Bahkan kata kokoh pun dirujukkan pada kata kukuh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sedangkan panggeran? Are you kidding me?

Pada film berbahasa Inggris dengan judul berbeda yang ditayangkan oleh stasiun televisi swasta nasional yang sama, ada kata “yes” yang bahkan tidak dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia. Wow. Memang sudah ada ya kata yes dalam Bahasa Indonesia? Maksa banget deh.

Atau misalnya kata-kata yang lain yang sering muncul dalam narasi, baik berita ataupun teks film:

Dokter gigi menjadi doktor gigi. Dan singkatan dokter menjadi Dr. bukan dr.

Jumat menjadi Jum’at. Doa menjadi do’a.*

Ada satu acara kuis di stasiun televisi swasta nasional berbeda yang mengajukan pertanyaan, “Penulisan manakah yang benar menurut EYD? Sanksi atau sangsi? Pakai huruf k atau huruf g?” Mereka membenarkan kata “sanksi”. Helloooo? Buset dah.

Sepengetahuan saya, sanksi dan sangsi—keduanya—adalah kata baku, namun berbeda arti. Lain lagi kalau pertanyaannya adalah, “Penulisan manakah yang benar menurut EYD yang bermakna hukuman?” Nah, itu baru nyambung dengan jawaban yang dimaksud oleh kru kuis tersebut

Jadi sekali lagi, kadang aku penasaran, mengapa bukan aku yang terpilih untuk menjadi salah satu anggota kru alih bahasa di stasiun televisi nasional tersebut?

Tentu saja aku pernah melamar ke salah satu stasiun televisi swasta, dan sudah bisa ditebak—bila saat ini aku mengeluh dan penasaran begini—kalau aku tidak diterima. Hehehe. Aku memang kemudian belum melamar ke stasiun televisi swasta yang lain, karena aku sadar bahwa mungkin belum rezekiku untuk menjadi bagian dari mereka. Aku memulainya lagi dari awal dengan melamar ke sebuah perusahaan distributor film, tapi tentu saja aku belum beruntung sampai sekarang :D :D.

Menjadi penerjemah dan editor bahasa di perusahaan media ternama—baik itu media televisi, media cetak, ataupun media elektronik lainnya—adalah salah satu impianku. Impian terbesarku hanyalah menjadi bagian dari publisher kenamaan—terutama pada bidang penerjemahan fiksi. Aku ingin mengawalinya lagi dari bawah dan kurasa itu cukup untuk membangun pondasi bagi impianku. Untuk saat ini berusaha untuk realistis, bahwa semua adalah suatu proses menuju satu titik tujuan, dan aku cukup lega bila bisa memulainya lagi dari 0 besar.

Oke, nobody’s perfect, jadi aku tahu bila tulisanku ini pun ada kesalahan. Maka, aku meminta maaf dan memohon koreksi, karena kita semua adalah pembelajar. Terima kasih sebelumnya.


*kata bercetak tebal adalah penulisan yang sesuai EYD dan unsur kebakuan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar

Tidak ada komentar: